Kamis, 18 September 2008

aLet,, ka eLLa,, nu2

LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN

LAPORAN PENDAHULUAN
(PASIEN DI RUANG PENYAKIT DALAM)



LAPORAN PENDAHULUAN

ASITES

A. PENGERTIAN

Asites adalah penimbunan cairan secara abnormal dirungga perut sering dikatakan penimbunan asites merupakan tanda prognosis yang kurang baik dan pengelolaan penyakitnya menjadi semakin sulit,asites juga dapat menjadi sumber lnfeksi seperti setiap penimbunan cairan secara abnormal dirungga tubuh yang lain infeksi akan lebih memperberat perjalanan penyakit dasarnya.

II. ETIOLOGI

Secara morfologis, sirosis dibagi atas jenis mikronodular (poral), mikrodonolar (pascanekrotik) dan jenis campuran, sedang dalam klinik dikenal 3 jenis, yaitu portal, pascanokretik, dan biller. Penyakit penyakit yang diduga dapat menjadi penyebab sirosis hepatis antara lain mal nutrisi, alkoholesme, virus hepatis, kegagalan jantung yang menyebabkan bendungan vena hepatika, penyakit wilson, hemokromatosis, zat toksik, dan lain-lain.

III. PATOFISIOLOGI

Penimbunan asites ditentukan oleh 2 faktur yang penting yakni faktor lokal dan sistemik.

1. Faktor lokal

Bertanggung jawab terhadap penimbunan cairan dirongga perut, faktor lokal yang penting adalah cairan sinusoid hati dan sistem kapiler pembuluh darah usus.

2. Faktor sistemik

Bertanggung jawab terhadap perubahan-perubahan yang terjadi pada sistem cardiovaskuler dan ginjal yang menimbun retensi air dan garam. Faktor utama sebagai pencetus timbulnya retensi air dan garam oleh ginjal adalah vasodilatasi arteri perifer mula-mula akan terjadi peningkatan tahananan sistem porta dan diikuti terbentuknya pitas porta sistemik baik intra maupun ektra hati apabila struktur perubahan parenkim semakin berlanjut, pembentukan pintas juga semakin berlanjut, vasodilatasi juga akan menjadi berat, sehingga tidak hanya sirkulasi splankrik,tetapi ditempat lain misalnya : kulit otot dan paru. Vasodilatasi arteri feriver akan menyebabkan ketahanan tahanan ferifer menurun tubuh akan menafsirkan seolah-olah menjadi penurun volome efektif darah arteri reaksi yang dilakukan untuk melawan keadaan itu adalah meningkatkan tonos saraf simpatik adrenergik. Hasil akhirnya adalah aktivitas terhadap 3 sistem vasokonstriktor yakni sistem renin-angiostensin, aldesteron, arginin vasopresin dan saraf simpatik aktivasi sistem arginin vasopresin akan menyebabkan retensi air, sistem aldesteron akan menyebabkan penurunan kecepatan filtrasi glomerulus dan meningkatkan reapsorpsi garam pada tubulus progsimal, disamping itu sistem vaskuler juga akan terpengaruh oleh aktivitasi ketiga vaso kontriktor tersebut.

Apabila terjadi sirosis hatisemakin berlambat, vasodilatasi arteri ferifer akan menjadi semakin berat sehingga aktivitasi sistem neoru homoral akan mampu menimbulkan asites. Disdamping itu, aktivasi sistem neurohumoral yang terumenerus tetapi akan menimbulkan perubahan fungsi ginjal yang semakin nyata sehingga terjadi sindrom heparorenal.

IV. MANIFESTASI KLINIK

Asites lanjut sangat mudah dikenali pada inspeksi, akan tampak perut membuncit pada umumnya gizi kurang, otot atrofi dan pada bagian besar kasus dapat dijumpai stigmata hati kronik. Pada saat pasien tidur terlentang, pembesaran perut akan nampak mencolok kesamping kanan dan kiri seperti perut kodok letak umbilikus tergeser kekaudal mendekati sismfisis pubis, sering dijumpai hernia umbilikalis kiri tekanan intara abdomen yang meninggi sedangkan otot-otot atrofi sehingga kekuatannya berkurang, tanda-tanda visis lain menunjukkan adanya akumilasi cairan dalam rongga perut. Perut antar lain : pekak samping (Flank dullness) pekak alih (shiffing dulinees)

V. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Adanya anemia, gangguan faal hati (penurunan kadar albumen serum,peninggian kadar globulin serum,penurunan kadar bilirubin direk dan inderik),penurunan enzim kolenisterase, serta peninggian SGOT dan SGPT.

Pemeriksaan khusus untuk menilai adanya asites yang masih sedikit, misalnya dengan paddle singn pemerisaan penunjang yang dapat diberikan informasi dalam keadaan ini adalah USG

Fungsi dioagnostik sebaiknya dilakukan pada setiap pasien baru. Dari pemeriksaan cairan asites dapat diketahui adanya keganasan . infeksi premer atau sekunder, eksudat, kilus atau transudasi.

VI. PENATALAKSANAAN MEDIS

Penatalaksanaan asites :

1. Istirat dan diet rendah garam. Dengan istirahan dan diet rendah garam (200-500mg perhari), kadang-kadang asites dan edema telah dapat diatasi. Adakalanya harus dibantu dengan membatasi jumlah pemasukan cairan selama 24 jam , hanya sampai 1 liter atau kurang.

2. Bila dengan istirat dan diet tidak dapat diatasi, diberikan pengobatan diuretik berupa spironolakton 50-100 mg/hari (awal) dan dapat ditingkatkan sampai 300 mg/hari bila setelah 3-4 hari tidak dapat perubahan.

3. Bila terjadi asites reflakter (asites yang tidak dapat dokendalikan dengan terafi medikamentosa yang intensif). Dilakukan terapi para sintesis. Walau pun merupakan cara pengobatan asites yang tergolong kono dan setempat ditinggalkan karena berbagai komplikasinya, parasintesis banyak kembali dicoba untuk digunakan. Pada umumnya parasentisis aman apabila disertai dengan infus albumin sebanyak 6-8 g untuk setiap liter cairan asites. Selain albumin dapat pula digunakan dekstran 70%. Walau pun demikian untuk mencegah pembentukan asites setelah parasintase, pengaturan diet rendah garam dan diuritek biasanya tetap diterlukan.

4. Pengendalian cairan asites. Diharapkan terjadi penurunan berat badan 1 kg/2 hari/keseimbangan cairan negatif 600-800 ml/hari. Hati-hati bila cairan terlalu banyak dikeluarkan dalam suatu saat,dapat mencetuskan ensefalopati hepatik.

VII. PROGNOSIS

Pada umumnya dikatakan terbentuknya asites merupakan pertanda prognosis yang tidak baik. Kemungkinan hidup sampai satu tahun hanya kira-kira 50% dan sampai 5 tahun kira-kira 20%. Faktor-faktor yang mempengaruhi prognosis adalah perubahan hemodinamika sistem porta, sistem vaskular sistemik dan fungsi ginjal, ketiga faktor itu lebih penting dari pada tes fungsi hati konvensial yang bisa digunakan.



LAPORAN PENDAHULUAN

KOLESTITIS KRONIK

1st. PENGERTIAN

Kolestitis Kronik adalah reaksi inflamasi dinding kandung empedu yang disertai keluhan nyeri perut kanan atas, nyeri tekan dan panas badan. Hingga kini patogenesis penyakit yang cukup sering dijumpai ini masih belum jelas.

2nd. ETIOLOGI

Faktor yang mendorong / mempengaruhi timbulnya serangan kolestitis kronis adalah statis cairan empedu, infeksi kuman dan iskemia dinding kandung empedu. Penyebab utamanya adalah batu kandung empedu 90 % yang terletak di duktus sistikus yang menyebabkan statis cairan empedu, sedang sebagian kecil kasus timbul tanpa adanya batu empedu (kostitis akut akal kulus). Bagaimana statis di duktus sistikus dapat menyababkan kolestitis akut masih belum jelas.

Di perkirakan banyak faktor yang berpengaruh, seperti kepekatan cairan empedu, kolesterol, lisolisitin dan protagladin yang merusak lapisan mukosa dinding kandung empedu di ikuti oleh reaksi inflamasi dan supurasi (nanah karena bakteri piegon)

3rd. GEJALA KLINIS

Keluhan yang khas untuk serangan kolestitis adalah kolik perut disebelah kanan atas atau epigastrium dan nyeri tekan serta kenaikan suhu tubuh. Kadang-kadang rasa sakit menjalar ke pundak atau skapula kanan dan dapat berlangsung sampai 60 menit tanpa reda. Berat ringannya keluhan sangat bervariasi tergantung dari adanya kelainan inflamasi yang ringan sampai dengan gangren atau perfarasi kandung empedu.

Pada kepustakaan berat sering dilaporkan bahwa pasien kolestitis akut umumnya wanita, gemuk, berusia diatas 40 tahun, tetapi menurut Lesmana L.A,dkk, hal ini sering tidak sesuai untuk pasien-pasien dinegara kita.

Pada pemeriksaan fisik teraba massa kandung empedu, nyeri tekan disertai tanda-tanda peritonitis lokal (tanda murphy).

Ikterus dijumpai pada 20 % kasus, umunya derajat ringan (bilirubin <>

4th. MANIFESTASI KLINIS

1. Gangguan pencernaan, mual dan muntah

2. Nyeri perut kanan atas atau kadang-kadang hanya rasa tidak enak di epigastrium

3. Yang khas yaitu nyeri yang menjalar kebahu atau subkapula

4. Demam dan ikterus (bila terdapat batu di duktus koledikus sistikus)

5. Gejala nyeri perut bertambah bila makan banyak berlemak

Pada pemeriksaan fisis didapati tanda-tanda lokal seperti nyeri tekan dan defans muskular, kadang-kadang empedu yang membengkak dan diselubungi omentum dapat teraba, nyeri tekan disertai tanda-tanda pentanitis lokal. Tanda murphy terjadi bila inspirasi maksimal terhenti pada penekanan perut ke atas.

5th. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Foto polos abdomen tidak dapat memperlihatkan gambaran kolestitis. Hanya pada 15 % pasien kemungkinan dapat terlihat batu tidak tembus pandang (radiopak) oleh karena mengandung kalsium cukup banyak.

Kolesistografi oral tidak dapat memperlihatkan gambaran kandung empedu bila ada obstruksi sehingga pemeriksaan ini tidak bermanfaat untuk kolestitis akut. USG sebaiknya dikerjakan secara rutin karena sangat bermanfaat untuk memperlihatkan besar, bentuk penebalan dinding kandung empedu, batu dan saluran empedu ekstra hepatik. Nilai kepekatan dan ketepatan USG mencapai 90 -95 %.

Sxintigrafi saluran empedu mempergunakan zat radioaktif HIDA atau GGN TCG iminodiacetic mempunyai nilai sedikit lebih rendah dari USG tapi tekhnik ini tidak mudah terlihatnya gambaran duktus koledokus tanpa adanya gambaran kandung empedu pada pemeriksaan kolesistografi oral atau sentigrafi menyokong kolesistitis.

Pada pemeriksaan CT Scan abdomen dapat memperlihatkan adanya abses perikolesistik yang masih kecil yang mungkin tidak terlihat pada pemeriksaan USG.

6th. PENATALAKSANAAN MEDIS

1. Konservatif pada keadaan akut

One. Bila penyakit berat, pasien perlu dirawat dan diberi cairan per infus.

Two. Istirahat tirah baring

Three. Puasa, pasang pipa Nasogastrik

Four. Analgesik, antibiotik

2. Bila gagal dengan pengobatan konservatif atau terdapat toksemia yang progresif perlu dilakukan kolesistektomi. Hal ini perlu untuk mencegah terjadinya komplikasi (gangren, perforasi, empiema, pankreatitis dam kalangitis)

Sebaiknya kolesistektomi dikerjakan pula pada serangan yang berulang-ulang

7th. DIAGNOSA KEPERAWATAN DAN INTERVENSI

1. Gangguan rasa nyaman; nyeri berhubungan dengan obstruksi /spasme duktus, proses inflamasi dan iskemia jaringan.

Intervensi:

- Observasi dan catat lokasi dan karakter nyeri (menetap, hilang timbul, kolik)

- Catat respon terhadap nyeri

- Tingkatkan tirah baring, biarkan pasien melakukan posisi yang nyaman.

- Kontrol suhu lingkungan

- Dorong menggunakan tekhnik relaksasi

Kolaborasi:

- Antikolinergik: Atropin, Propentelin (Pro-banthine)

- Sedatif: Fenobarbital

- Narkotik: Meperidin hidroklorida

- Monoktanoin

- Relaksasi otot halus

2. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan pengisapan gaster berlebihan; muntah, distensi, hipermotilitas gaster

Intervensi:

- Kaji membran mukosa / kulit

- Awasi tanda / gejala peningkatan, kram abdomen, kelemahan, kejang, kecepatan jantung tak teratur, hipoaktif / tidak adanya bising usus

- Hindarkan dari lingkungan yang berbau

- Lakukan kebersihan oral

Kolaborasi:

- Beri antiemetik: Compazine

- Kaji ulang pemeriksaan lab

- Beri IV, elektrolit dan Vit. K

3. Gangguan kebutuhan nutrisi; gangguan pencernaan lemak berhubungan dengan obstruksi aliran empedu

Intervensi:

- Kaji distensi abdomen

- Hitung pemasukan kalor, jaga komentar tentang nafsu makan sampai minimal.

- Berikan suasana menyenangkan pada saat makan

- Ambulasi dan tingkatkan aktifiats sesuai toleransi

Kolaborasi:

- Tambahkan diet sesuai toleransi, tinggi serat, rendah lemak

- Berikan gambaran empedu

- Awasi pemeriksaan lab

- Berikan dukungan nutrisi lokal sesuai kebutuhan

4. Gangguan rasa cemas berhubungan dengan kurangnya pengetahuan

Intervensi:

- Berikan penjelasan tentang prognosis

- Kaji ulang proses penyakit

- Anjurkan pasien untuk menghindari makanan /minuman tinggi lemak.

DAFTAR PUSTAKA

Doengoes E. Maryllin, 1999. “Rencana Asuahan Keperawatan”. Edisi III. Jakarta; Buku Kedokteran. EGC

Mansjoer. Arif; Triyanti, Kuspuji; Savitri, Rakhmi; Wahyu, dkk, 1999.” Kapita Selekta Kedokteran”.Media Aescupalius Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Syaifoellah H.M. Prof.dr, 1996.”Buku Ajar Penyakit Dalam”. Jilid 1a FKUI.

LAPORAN PENDAHULUAN

KOLESTITIS KRONIK

1st. PENGERTIAN

Kolestitis Kronik adalah reaksi inflamasi dinding kandung empedu yang disertai keluhan nyeri perut kanan atas, nyeri tekan dan panas badan. Hingga kini patogenesis penyakit yang cukup sering dijumpai ini masih belum jelas.

2nd. ETIOLOGI

Faktor yang mendorong / mempengaruhi timbulnya serangan kolestitis kronis adalah statis cairan empedu, infeksi kuman dan iskemia dinding kandung empedu. Penyebab utamanya adalah batu kandung empedu 90 % yang terletak di duktus sistikus yang menyebabkan statis cairan empedu, sedang sebagian kecil kasus timbul tanpa adanya batu empedu (kostitis akut akal kulus). Bagaimana statis di duktus sistikus dapat menyababkan kolestitis akut masih belum jelas.

Di perkirakan banyak faktor yang berpengaruh, seperti kepekatan cairan empedu, kolesterol, lisolisitin dan protagladin yang merusak lapisan mukosa dinding kandung empedu di ikuti oleh reaksi inflamasi dan supurasi (nanah karena bakteri piegon)

3rd. GEJALA KLINIS

Keluhan yang khas untuk serangan kolestitis adalah kolik perut disebelah kanan atas atau epigastrium dan nyeri tekan serta kenaikan suhu tubuh. Kadang-kadang rasa sakit menjalar ke pundak atau skapula kanan dan dapat berlangsung sampai 60 menit tanpa reda. Berat ringannya keluhan sangat bervariasi tergantung dari adanya kelainan inflamasi yang ringan sampai dengan gangren atau perfarasi kandung empedu.

Pada kepustakaan berat sering dilaporkan bahwa pasien kolestitis akut umumnya wanita, gemuk, berusia diatas 40 tahun, tetapi menurut Lesmana L.A,dkk, hal ini sering tidak sesuai untuk pasien-pasien dinegara kita.

Pada pemeriksaan fisik teraba massa kandung empedu, nyeri tekan disertai tanda-tanda peritonitis lokal (tanda murphy).

Ikterus dijumpai pada 20 % kasus, umunya derajat ringan (bilirubin <>

4th. MANIFESTASI KLINIS

1. Gangguan pencernaan, mual dan muntah

2. Nyeri perut kanan atas atau kadang-kadang hanya rasa tidak enak di epigastrium

3. Yang khas yaitu nyeri yang menjalar kebahu atau subkapula

4. Demam dan ikterus (bila terdapat batu di duktus koledikus sistikus)

5. Gejala nyeri perut bertambah bila makan banyak berlemak

Pada pemeriksaan fisis didapati tanda-tanda lokal seperti nyeri tekan dan defans muskular, kadang-kadang empedu yang membengkak dan diselubungi omentum dapat teraba, nyeri tekan disertai tanda-tanda pentanitis lokal. Tanda murphy terjadi bila inspirasi maksimal terhenti pada penekanan perut ke atas.

5th. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Foto polos abdomen tidak dapat memperlihatkan gambaran kolestitis. Hanya pada 15 % pasien kemungkinan dapat terlihat batu tidak tembus pandang (radiopak) oleh karena mengandung kalsium cukup banyak.

Kolesistografi oral tidak dapat memperlihatkan gambaran kandung empedu bila ada obstruksi sehingga pemeriksaan ini tidak bermanfaat untuk kolestitis akut. USG sebaiknya dikerjakan secara rutin karena sangat bermanfaat untuk memperlihatkan besar, bentuk penebalan dinding kandung empedu, batu dan saluran empedu ekstra hepatik. Nilai kepekatan dan ketepatan USG mencapai 90 -95 %.

Sxintigrafi saluran empedu mempergunakan zat radioaktif HIDA atau GGN TCG iminodiacetic mempunyai nilai sedikit lebih rendah dari USG tapi tekhnik ini tidak mudah terlihatnya gambaran duktus koledokus tanpa adanya gambaran kandung empedu pada pemeriksaan kolesistografi oral atau sentigrafi menyokong kolesistitis.

Pada pemeriksaan CT Scan abdomen dapat memperlihatkan adanya abses perikolesistik yang masih kecil yang mungkin tidak terlihat pada pemeriksaan USG.

6th. PENATALAKSANAAN MEDIS

1. Konservatif pada keadaan akut

One. Bila penyakit berat, pasien perlu dirawat dan diberi cairan per infus.

Two. Istirahat tirah baring

Three. Puasa, pasang pipa Nasogastrik

Four. Analgesik, antibiotik

2. Bila gagal dengan pengobatan konservatif atau terdapat toksemia yang progresif perlu dilakukan kolesistektomi. Hal ini perlu untuk mencegah terjadinya komplikasi (gangren, perforasi, empiema, pankreatitis dam kalangitis)

Sebaiknya kolesistektomi dikerjakan pula pada serangan yang berulang-ulang

7th. DIAGNOSA KEPERAWATAN DAN INTERVENSI

1. Gangguan rasa nyaman; nyeri berhubungan dengan obstruksi /spasme duktus, proses inflamasi dan iskemia jaringan.

Intervensi:

- Observasi dan catat lokasi dan karakter nyeri (menetap, hilang timbul, kolik)

- Catat respon terhadap nyeri

- Tingkatkan tirah baring, biarkan pasien melakukan posisi yang nyaman.

- Kontrol suhu lingkungan

- Dorong menggunakan tekhnik relaksasi

Kolaborasi:

- Antikolinergik: Atropin, Propentelin (Pro-banthine)

- Sedatif: Fenobarbital

- Narkotik: Meperidin hidroklorida

- Monoktanoin

- Relaksasi otot halus

2. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan pengisapan gaster berlebihan; muntah, distensi, hipermotilitas gaster

Intervensi:

- Kaji membran mukosa / kulit

- Awasi tanda / gejala peningkatan, kram abdomen, kelemahan, kejang, kecepatan jantung tak teratur, hipoaktif / tidak adanya bising usus

- Hindarkan dari lingkungan yang berbau

- Lakukan kebersihan oral

Kolaborasi:

- Beri antiemetik: Compazine

- Kaji ulang pemeriksaan lab

- Beri IV, elektrolit dan Vit. K

3. Gangguan kebutuhan nutrisi; gangguan pencernaan lemak berhubungan dengan obstruksi aliran empedu

Intervensi:

- Kaji distensi abdomen

- Hitung pemasukan kalor, jaga komentar tentang nafsu makan sampai minimal.

- Berikan suasana menyenangkan pada saat makan

- Ambulasi dan tingkatkan aktifiats sesuai toleransi

Kolaborasi:

- Tambahkan diet sesuai toleransi, tinggi serat, rendah lemak

- Berikan gambaran empedu

- Awasi pemeriksaan lab

- Berikan dukungan nutrisi lokal sesuai kebutuhan

4. Gangguan rasa cemas berhubungan dengan kurangnya pengetahuan

Intervensi:

- Berikan penjelasan tentang prognosis

- Kaji ulang proses penyakit

- Anjurkan pasien untuk menghindari makanan /minuman tinggi lemak.

DAFTAR PUSTAKA

Doengoes E. Maryllin, 1999. “Rencana Asuahan Keperawatan”. Edisi III. Jakarta; Buku Kedokteran. EGC

Mansjoer. Arif; Triyanti, Kuspuji; Savitri, Rakhmi; Wahyu, dkk, 1999.” Kapita Selekta Kedokteran”.Media Aescupalius Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Syaifoellah H.M. Prof.dr, 1996.”Buku Ajar Penyakit Dalam”. Jilid 1a FKUI.



LAPORAN PENDAHULUAN

DENGUE HAEMORRHAGIC FEVER

1st. PENGERTIAN

Dengue Haemorrhagic Fever atau yang sering disebut DHF adalah penyakit demam akut yang disebabkan oleh virus Dengue yang dapat ditandai dengan adanya manifestasi perdarahan dari tendensi untuk terjadinya Dengue Syok Syndrome (DSS) dan kematian.

2nd. ETIOLOGI

Virus Dengue termasuk golongan ARBO virus B. virus ini masuk pada tubuh penderita melalui gigitan nyamuk Aedes Aegypthi (betina). Virus dengue dibedakan atas empat serotive, yaitu:

- Virus Den 1

- Virus Den 2

- Virus Den 3

- Virus Den 4

Keempat serotive virus tersebut ada di Indonesia. Dengue 3 merupakan serotive yang paling banyak beredar.

3rd. PATOFISIOLOGI

Fenomena patologis yang utama pada penderita DHF adalah meningkatnya permeabilitas dinding kapiler yang mengakibatkan terjadinya pembesaran plasma ke ruang ekstra seluler.

Hal pertama yang terjadi setelah virus masuk kedalam tubuh penderita adalah viremia yang mengakibatkan penderita mengalami demam, sakit kepala, mual, nyeri otot, pegal-pegal diseluruh tubuh, ruam atau bintik-bintik merah pada kulit (petekie), hiperemi tenggorokan dan hal lain yang mungkin terjadi seperti hepatomegali, pembesaran getah bening dan pembesaran limpa (splenomegali).

Hemokonsentrasi (peningkatan >20%) menunjukkan atau menggambarkan adanya kebocoran (pembesaran) plasma (plasma leakage) sehingga nilai hematokrit menjadi penting untuk patokan pemberian cairan intravena.

4th. GAMBARAN KLINIS

Gambaran klinis yang timbul bervariasi berdasarkan derajat DHF dengan masa inkubasi antara 13-15 hari.

Penderita biasanya mengalami demam akut (suhu meningkat tiba-tiba), disertai menggigil. Saat demam pasien composmentis.

Gejala klinis lain yang timbul dan sangat menonjol adalah terjadinya perdarahan yang dapat berupa:

- Perdarahan pada kulit (petekie, ekimosis, hematom)

- Perdarahan lain seperti epistaksis, hematemesis, hematuria dan melena.

Pada pasien Dengue Haemorhagic Fever biasa dijumpai:

- Keluhan pada saluran pernafasan seperti batuk , pilek, sakit waktu menelan

- Keluhan pada saluran pencernaan: mual, muntah, tidak nafsu makan (anoreksia), diare, konstipasi.

- Keluhan sistem tubuh lain: nyeri atau sakit kepala, nyeri pada otot, tulang dan sendi (Break Bone Fever), nyeri ulu hati, kemerahan pada kulit, dll.

Pada penderita Dengue Haemorrhagic Fever sering dijumpai pembesaran hati (hepatomegali), limpa, dan kelenjar getah bening yang akan kembali normal pada masa penyembuhan.

5th. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK

1. Foto Thorax (X-Ray)

Merupakan data penunjang untuk mengetahui kemungkinan dijumpainya Pleura Efusion, pada pemeriksaan USG hepatomegali dan splenomegali

2. Pemeriksaan Serologi

Untuk pengukuran liter anti body pasien dengan cara Haemaglutination Inhibition Test (HI Test) atau uji pengikatan komplemen dengan mengambil darah vena 2-5 ml

3. Pemeriksaan Laboratorium

Pada pemeriksaan laboratorium akan didapatkan data seperti:

- Hb (untuk mengetahui peningkatan hematokrit)

- Leukosit

- Hemokonsentrasi

- Trombosit

- Faktor pembekuan

- LED

- Eritrosit

6th. PENATALAKSANAAN MEDIS

1. Tirah baring

2. Diet makanan lunak

3. Minum banyak (2-2,5 liter / 24 jam)

4. Pemberian cairan intravena (biasanya Ringer Laktat atau NaCl Faali)

5. Monitor tanda-tanda vital tiap 3 jam

6. Monitor tanda-tanda perdarahan lebih lanjut.

7th. DIAGNOSA KEPERAWATAN DAN INTERVENSI

1. Peningkatan suhu tubuh (hipertermia) berhubungan dengan proses penyakit (viremia)

Intervensi:

- Kaji saat timbulnya demam

- Observasi tanda-tanda vital: suhu, nadi, pernafasan setiap 3 jam atau lebih sering.

- Berikan penjelasan tentang penyebab demam atau peningkatan suhu tubuh

2. Gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan mual, muntah, anoreksia dan sakit saat menelan.

Intervensi:

- Kaji keluhan mual, sakit menelan dan muntah yang dialami pasien

- Berikan makanan yang mudah ditelan seperti: bubur, tim dan hidangkan saat masih hangat

- Menjelaskan manfaat makanan /nutrisi bagi pasien terutama saat pasien sakit.

3. Gangguan rasa nyaman; nyeri berhubungan dengan mekanisme patologis (proses penyakit)

Intervensi:

- Kaji tingkat nyeri yang dialami pasien dengan memberi rentang nyeri (0-4)

- Kaji faktor-faktor yang mempengaruhi reaksi pasien terhadap nyeri seperti budaya, pendidikan, dll.

4. Potensial terjadi infeksi berhubungan dengan pemasangan infus.

Intervensi:

- Lakukan tekhnik aseptik saat melakukan tindakan pemasangan infus

- Mengobservasi daerah pemesangan infus setiap hari

- Amati kelancaran tetesan infus.

- Segera cabut infus jika tampak adanya pembengkakan atau plebetis.

DAFTAR PUSTAKA

Carpenito L.J, 1999. “Diagnosa Keperawatan dan Masalah Kolaboratif”.Rencana Asuhan dan Dokumentasi Keperawatan. Edisi 2 Jakarta; EGC.

Doengoes E. Maryllin, 1999. “Rencana Asuahan Keperawatan”. Edisi III. Jakarta; Buku Kedokteran. EGC

Harsono, 1996.” Kapita Selekta Neurologi”. Jilid 1. Edisi 2. Yokyakarta; Fakultas Kedokteran. UGM.

Mansjoer. Arif, dkk, 1982.” Kapita Selekta Kedokteran”. Jilid I. Edisi 3. Jakarta; FKUI

Tucker.S.M,dkk,1998.”Standar Keperawatan Pasien”. Proses Keperawatan, Diagnosa dan Evaluasi. Edisi V. Jakarta; Buku Kedokteran. EGC.



LAPORAN PENDAHULUAN

DIARE

1. Pengertian.

Diare adalah kehilangan cairan dan elektrolit secara berlebihan yang terjadi karena frekuensi satu kali atau lebih buang air besar dengan bentuk tinja yang encer atau cair.

2. Etiologi.

a) Faktor Infeksi :

Bakteri; Enteropathogenic Escherichia Coli, Salmonella, Shigella, Yersinia Enterocolitica.

Virus; Enterovirus – Echoviruses, Adenovirus, Human Retrovirua seperti agent, Rotavirus.

Jamur; Candida Enteritis.

Parasit; Giardia Clamblia, Crytosporidium.

Protozoa.

b) Bukan Faktor Infeksi :

Alergi makanan; susu, protein.

Gangguan metabolik atau malabsorbsi; penyakit celiac, Cystic Fibrosis pada pankreas.

Iritasi langsung pada saluran pencernaan oleh makanan.

Obat-obatan; Antibiotik.

Penyakit usus; Colitis Ulserative, Crohn Disease, Enterocolitis.

Emosional atau stress.

Obstruksi usus.

c) Penyakit infeksi; Otitis Media, infeksi saluran nafas atas, infeksi saluran kemih.

3. Patofisiologi.

Meningkatnya motilitas dan cepatnya pengosongan pada intestinal merupakan akibat dari gangguan absorbsi dan ekskresi cairan dan elektrolit yang berlebihan.

Cairan, sodium, potasium dan bikarbonat berpindah dari rongga ekstraselular ke dalam tinja, sehingga mengakibatkan dehidrasi kekurangan elektrolit, dan dapat terjadi asidosis metabolik.

Diare yang terjadi merupakan proses dari :

Transport aktif akibat rangsangan toksin bakteri terhadap elektrolit ke dalam usus halus. Sel dalam mukosa intestinal mengalami iritasi dan meningkatnya sekresi cairan dan elektrolit. Mikroorganisme yang masuk akan merusak sel mukosa intestinal, perubahan kapasitas intestinal dan terjadi gangguan absorbsi cairan dan elektrolit.

Peradangan akan menurunkan kemampuan intestinal untuk mengabsorbsi cairan dan elektrolit dan bahan-bahan makanan. Ini terjadi pada sindrom malabsorbsi.

Meningkatnya motilitas intestinal dapat mengakibatkan gangguan absorbsi intestinal.





Kematian


Tahapan dehidrasi dari Ashwill and Droske ( 1997 ) :

Dehidrasi ringan; berat badan menurun 3% - 5%, dengan volume cairan yang hilang kurang dari 50 ml/kg.

Dehidrasi sedang; berat badan menurun 6% - 9%, dengan volume cairan yang hilang 50 – 90 ml/kg.

Dehidrasi berat; berat badan menurun lebih dari 10%, dengan volume cairan yang hilang sama dengan atau lebih dari 100 ml/kg.

Menilai Derajat Dehidrasi Penderita

Cara Menilai Dehidrasi

Penilaian

A

B

C

Lihat;

Keadaan umum.

Mata.

Air mata.

Mulut dan lidah.

Rasa haus.

Baik, sadar.

Norma.

Ada.

Basah.

Minum biasa / tidak haus.

Gelisah

Cekung.

Tidak ada.

Kering.

Haus, banyak minum.

Kesadaran turun dan atau tidak sadar.

Sangat cekung dan kering.

Tidak ada.

Sangat kering.

Sedikit minum atau tidak bisa minum.

Periksa turgor kulit.

Kembali cepat.

Kembali lambat (2 dtk)

Kembali sangat lambat ( > 2 dtk ).

Derajat dehidrasi

Tanpa dehidrasi

Dehidrasi ringan / sedang.

Bila ada tanda-tanda ditambah 1 atau lebih tanda lain.

Dehidrasi berat.

Bila ada 1 tanda-tanda ditambah 1 atau lebih tanda lain.

4. Komplikasi.

Dehidrasi.

Hipokalemia.

Hipokalsemia.

Cardiac dysrhythmias akibat hipokalemia dan hipokalsemia.

Hiponatremia.

Syok hipovolemik.

Asidosis.

5. Manifestasi Klinis.

Sering buang air besar dengan konsistensi tinja cair atau encer.

Terdapat tanda dan gejala dehidrasi; turgor kulit jelek ( elastisitas kulit menurun ), ubun-ubun dan mata cekung, membran mukosa kering.

Keram abdominal.

Demam.

Mual dan muntah.

Anoreksia.

Lemah.

Pucat.

Perubahan tanda-tanda vital; nadi dan pernafasan cepat.

Menurun atau tidak ada pengeluaran urine.

6. Pemeriksaan Diagnostik.

Riwayat alergi pada obat-obatan atau makanan.

Kultur tinja.

Pemeriksaan elektrolit, BUN, Creatinine dan glukosa.

Pemeriksaan tinja; pH, leukosit, glukosa dan adanya darah.

7. Penatalaksanaan Terapeutik.

Penanganan fokus pada penyebab.

Pemberian cairan dan elektrolit; oral ( seperti; pedialyte atau oralit ) atau terapi parenteral.

Pada bayi, pemberian ASI diteruskan jika penyebab bukan dari ASI.

8. Penatalaksanaan Perawatan.

a) Pengkajian.

Kaji riwayat diare.

Kaji status hidrasi; ubun-ubun, turgor kulit, mata, membran mukosa mulut.

Kaji tinja; jumlah, warna, bau, konsistensi dan waktu buang air besar.

Kaji intake dan output ( pemasukan dan pengeluaran ).

Kaji berat badan.

Kaji tingkat aktifitas anak.

Kaji tanda-tanda vital.

b) Diagnosa Keperawatan.

1) Kurangnya volume cairan B.D seringnya buang air besar dan encer.

2) Resiko gangguan integritas kulit B.D seringnya buang air besar.

3) Resiko infeksi pada orang lain B.D terinfeksi kuman diare atau kurangnya pengetahuan tentang pencegahan penyebaran penyakit.

4) Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh B.D menurunnya intake ( pemasukan ) dan menurunnya absorbsi makanan dan cairan.

5) Kurangnya pengetahuan B.D perawatan anak.

6) Cemas takut pada anak / orang tua B.D hopitalisasi dan kondisi sakit.

c) Rencana Keperawatan.

1) Keseimbangan cairan dapat dipertahankan dalam batas normal yang ditandai dengan pengeluaran urine sesuai, pengisian kembali kapiler ( capillary refill ) kurang dari 2 detik, turgor kulit elastis, membran mukosa lembab, dan berat badan tidak menunjukan penurunan.

2) Anak tidak menunjukan gangguan integritas kulit yang ditandai dengan kulit utuh dan tidak lecet.

3) Tidak terjadi penularan diare pada orang lain.

4) Anak toleran dengan diit yang sesuai yang ditandai dengan berat badan dalam batas normal, dan tidak terjadi kekambuhan diare.

5) Orang tua dapat berpartisipasi dalam perawatan anak.

6) Anak dan orang tua menunjukan rasa cemas atau takut berkurang yang ditandai dengan orang tua aktif merawat anak, bertanya dengan perawat atau dokter tentang kondisi dan klarifikasi, dan anak tidak menangis.

d) Implementasi Keperawatan.

1) Meningkatkan hidrasi dan keseimbangan elektrolit.

Kaji status hidrasi; ubun-ubun, mata, turgor kulit dan membran mukosa.

Kaji pengeluaran urine; gravitasi urine atau berat jenis urine (1,005 – 1,020) atau sesuai dengan usia pengeluaran urine 1 – 2 ml/kg perjam.

Kaji pemasukan dan pengeluaran cairan.

Monitor tanda-tanda vital.

Pemeriksaan laboratorium sesuai program; elektrolit, Ht, pH dan serum albumin.

Pemberian cairan dan elektrolit sesuai protokol ( dengan oralit, dan cairan parenteral bila indikasi ).

Pemberian anti diare dan anti biotik sesuai program.

Anak diistirahatkan.

2) Mempertahankan keutuhan kulit.

Kaji kerusakan kult atau iritasi setiap buang air besar.

Gunakan kapas lembab dan sabun bayi ( atau pH normal ) untuk membersihkan anus setiap buang air besar.

Hindari dari pakaian dan pengalas tempat tidur yang lembab.

Ganti popok / kain apabila lembab atau basah.

Gunakan obat cream bila perlu untuk perawatan perineal.

3) Mengurangi dan mencegah penyebaran infeksi.

Ajarkan cara mencuci tangan yang benar pada orang tua dan pengunjung.

Segera bersihkan dan angkat bekas buang air besar dan tempatkan pada tempat khusus.

Gunakan standar pencegahan unversal ( seperti; gunakan sarung tangan dll ).

Tempatkan pada ruangan yang khusus.

4) Meningkatkan kebutuhan nutrisi yang optimum.

Timbang berat badan anak setiap hari.

Monitor intake dan output ( pemasukan dan pengeluaran ).

Setelah rehidrasi, berikan minuman oral dengan sering dan makanan yang sesuai dengan diit dan usia dan atau berat badan anak.

Hindari minuman buah-buahan.

Lakukan kebersihan mulut setiap habis makan.

Bagi bayi, ASI tetap diteruskan.

Bila bayi tidak toleran dengan ASI berikan formula yang rendah laktosa.

5) Meningkatkan pengetahuan orang tua.

Kaji tingkat pemahaman orang tua.

Ajarkan tentang prinsip diit dan kontrol diare.

Ajarkan pada orang tua tentang pentingnya cuci tangan untuk menghindari kontaminasi.

Jelaskan tentang penyakit, perawatan dan pengobatan.

Jelaskan pentingnya kebersihan.

6) Menurunkan rasa takut / cemas pada anak dan orang tua.

Ajarkan orang tua untuk mengekspresikan perasaan takut dan cemas; dengarkan keluhan orang tua dan bersikap empati, dan sentuhan terapeutik.

Gunakan komunikasi terapeutik; kontak mata, sikap tubuh dan sentuhan.

Jelaskan setiap prosedur yang akan dilakukan pada anak dan orang tua.

Libatkan orang tua dalam perawatan anak.

Jelaskan kondisi anak, alasan pengobatan dan perawatan.

e) Perencanaan Pemulangan.

Jelaskan penyebab diare.

Ajarkan untuk mengenal komplikasi diare.

Ajarkan untuk mencegah penyakit diare dan penularan; ajarkan tentang standar pencegahan.

Ajarkan perawatan anak; pemberian makanan dan minuman ( misalnya; oralit ).

Ajarkan mengenal tanda-tanda dehidrasi, ubun-ubun dan mata cekung, turgor kulit tidak elastis, membran mukosa kering.

Jelaskan obat-obatan yang diberikan; efek samping dan kegunaannya.

Konsep dasar

D E M A M T Y P H O I D

A. PENGERTIAN

Demam typhoid adalah penyakit infeksi akut yang mengenai saluran cerna, dengan gejala demam yamh lebih dari 1 minggu, gangguan pada pencernaan dan gangguan kesadaran.

B. ETIOLOGI

Etiologi demam typhoid adalah Salmonella Typhii, basil gram negatif yang bergerak dengan bulu getar dan tidak berspora.

C. PATOFISIOLOGI

Kuman S.Typhi




Mak/min tercemar Tubuh melalui

Mulut




Anoreksia Lambung sebagian mati

Usus halus




Mokusa usus halus

Jaringan Limfoid

Plaque peyer

(kumpulam folikel limfoid) Hb turun










Bagian ujung usus halus ileum terminalis komplikasi perdarahan

Dan perforasi intestinal

Kuman lamina propia aliran linfe hipertropi




Ductus troracicus aliran darah bakterimia primer

Melalui sirkulasi portal Kuman lain masuk

Mencapai hati




Bersarang di plaque, limpa

Hati dan bagian retikoluendotelial


Bakterimia sekunder

Demam disebabkan karena S. Typhii dan endotoksinnya merangsang sintesis dan pelepasan zat pirogen oleh leukosit pada jaringan yang meradang.

D. TANDA DAN GEJALA

Gambaran klinik demam typoid pada anak lebih ringan dari ada orang dewasa. Masa tunas 10 – 20 hari. Selama masa inkubasi mungkin ditemukan gejala prodormal yaitu perasaan tidak enak badan, lesu,nyeri kepala, pusing dan tidak bersemangat, nafsu makan kurang menyusul gambaran klinik yang biasa ditemukan.

1. Demam

Pada kasus yang khas demam berlangsung 3 minggu, bersifat febris rimeten dan suhu tidak tinggi sekali.

2. Gambaran saluran pencernaan

Pada mulut terdapat nafas tidak sedap, bibir kering, pecah-pecah. Tidah tertutup selaput kotor (coated tongue). Padaabdomen dapat ditemukan nyeri pada perabaan. Biasanya sering terjadi konstipasi tetapi juga dapatdiare atau normal.

3. Gangguan kesadaran

Umumnya kesadaran menurun walaupun ida berapa daam yaitu apatis sampai samnolen.

E. PEMERIKSAAN LABORATORIUM

1. Darah tepi

Terdapat gambaran leukopenia, limfositosis relatif dan aneosinofilia pada permulaan sakit, nilai normal leukosit adalah 7000 – 8000 / mm3 . Mungkin terdapat anemia dan trombositopenia ringan. Pada kebanyakan kasus tifoid, jumlah leukosit pada sediaan darah tepi berada dalam batas-batas normal, malahan kadang-kadang terdapat leukositosis, walaupun tidak ada komplikasi dan infeksi sekunder.

2. Darah untuk kultur ( biakan empedu )

Biakan empedu untuk menemukan salmonella merupakan pemeriksaan yang dapat menentukan diagnosis tifus abdominalis secara pasti. Pemeriksaan ini perlu dilakukan pada waktu masuk dan setiap minggu berikutnya.

Biakan empedu basil salmonella dapat ditemukan dalam darah passien dalam minggu pertama sakit. Selanjutnya lebih sering ditemukan dalam feces dan urin, dan mungkin akan tetap positif dalam waktu yang lama. Oleh karena itu, pemeriksaan yang positif dari contoh darah digunakan untuk menegakkan diagnosis. Sedangakan pemeriksaan negatif 2 kali berturut-turut digunakan untuk menentukan bahwapasien telah benar sembuh dan tidak menjadi pambawa kuman (carrier).

3. Widal test

Widal test adalah suatu reaksi aglutinasi antara antigen dengan antibodi ( aglutinin ). Aghlutinin yang spesifik terhadap salmonella tyerdapat dalam serum penderita tifoid dan juga pada orang yang pernah ketularan salmonella dan orang yang pernah di vaksinasi tifoid. jadi maksud dari test widal adalah untuk mentukan adanya aglutinin dalam serum penderita yang disangka menderita tifoid.

Akibat infeksi salmonella, pasien membuat antibodi, yaitu :

Aglutinin O, yang dibuat karena rangsangan antigen O ( berasal dari tubuh kuman )

Aglutinin H, karena rangsangan dari antigen H ( berasal dari flagella kuman ).

Aglutinin Vi, berasal dari rangsangan antigen Vi ( berasal dari simpai kuman ).

Untuk membuat diagnosa yang diperlukan adalah titer zat anti terhadap antigen O. Titer yang bernilai 1/200 atau lebih dan atau menunjukkan peningkatan yang progresif digunakan untuk membuat diagnosis.

4. Pemeriksaan urine dan faeces

Pada minggu ketiga, urine dapat mengandung kuman salmonella, sedang pada faeces, kuman didapatkan pada minggu kedua dan ketiga. Biakan tersebut memberikan hasil positif pada 40 % kasus dalam stadium awal demam tifoid, setelah septikemia sekunder.

F. PENATALAKSANAAN

Pasien yang dirawat dengan diagnosis observasi demam typoid harus di anggap dan perlakukan langsung sebagai pasien demam typoid.

Penatalaksanaan yang mutlak pada pasien demam tifoid mencakup tiga bagian, yaitu :

1). Perawatan

Penderita tifoid perlu dirawat di rumah sakit untuk isolasi, observasi dan pengobatan.

a. Klien tg sudah pasti menderita tifoid lewat pemeriksaan laboratorium harus tirah baring absolut sampai minimal 7 hari setelah bebas demam atau kurang lebih 14 hari. Maksud dari tirah baring ini adalah untuk mencegah terjadinya komplikasi perdarahan usus. Mobilosasi dilakukan bertahap sesuai dengan pulihnya kekuatan penderita.

b. Klien dengan kesadaran menurun, posisinya harus diubah-ubah sedikitnya setiap 2-3 jam untuk menghindari komplikasi pneumonia hipostatik dan dekubitus.

c. Pengawasan terhadap tekanan darah, nadi, suhu tergantung dari keadaan klien. Panas tubuh klien diturunkan dengan kompres dingin.

d. Kebersihan mulut sangat penting untuk menghindari terjadinya stomatitis dan juga memberikan rasa nyaman.

2). Diit

Klien tifoid diberi bubur saring, kemudian bubur kasar dan akhirnya nasi biasa sesuai dengan kesembuhan klien. Pemberian diit ini dimaksudkan untuk menghindari komplikasi perdarahan atau perforasi usus. Hindarkan makanan yang mengandung serat ( selulosa ) tinggi.

3). Obat-obatan

Obat-obatan yang biasa diberiakn pada klien tifoid dalah obat anti mikroba seperti :

a. Kloramfenikol

Di Indonesia, obat ini masih merupakan pilihan. Dosis untuk orang dewasa sampai dengan 4 kali 500 mg sehari baik oral atau intra vena,pada anak-anak diberikan dalam dosis 4 x 100 mg / kg BB / hari ( maksimum 2 gram perhari ) oral atau intra vena

b. Tiamfenikol

Dosis dan efektifitasnya sama dengan kloramfenikol tetapi komplikasi hematologis tiamfenikol lebih jarang.

c. Kotrimoksazol

Termasuk dalam golongan sulfonamida daan merupakan kombinasi dari trimetoprim dan sulfametoksazol yang berkhasiat bakterisid luas. Efektifitasnya kurang lebih sama dengan kloramfenikol. Dosis untuk org dewasa 2 kali 2 tablet sehari, digunakan sampai dengan 7 hari bebas demam ( 1 tablet mengandung 80 mg trimetoprim dan 400 mg sulfametoksazol )

d. Ampisillin dan amoksisilin

Dalm hal kemampuan menurunkan demam pada tifoid, efektivitas ampisillin dan amoksisilin masih lebih kecil dibandingkan dengan kloramfenikol. Indikasi penggunaannya adalah pasien demam tifoid dengan leukopenia. Dosis yang dianjurkan sekitar 75 – 150 mg / kg berat badan sehari, digunakan sampai 7 hari bebas demam. Dengan obat ini demam rata-rata turun setelah 7 – 9 hari.

G. KOMPLIKASI

Komplikasi demam tifoid dapt dibagi dalam :

1. komplikasi intestinal

a. perdarahan usus

b. perforasi ileus

c. ileus paralitik

2. komplikasi ekstra-intestinal

a. komplikasi kardiovaskuler

kegagalan sirkuasi perifer ( syok sepsis ), miokarditis, trombosis, dan trombofhlebitis

b. komplikasi darah

anemia hemolitik, trombositopenia dan DIC

c. komplikasiparu

pneumonia, empiema, dan pleuritis

d. komplikasihepar dan kandung empedu

hepatitis dan kolesistitis

e. komplikasi ginjal

glomerulonefritis, pielonefritis, dan perinefritis

f. komplikasi tulang

osteomielitis, periostitis, spondilitis dan artritis

g. komplikasi neuropsikiatrik

delirium, meningismus, meningitis, polineuritis perifer, sindrom guillai-barre, psikosis dan sindrom katatonia

H. PROGNOSIS

Prognosis pada umumnya baik asalkan saja berobat dengan cepat dan tepat.angka mortalitas pada anak sekitar 2.6 %, pada orang dewasa 7.4 %, rata-rata sekitar 5.7 %. Prognosis bisa jadi memburuk bila disertai keadaan-keadaan dibawah ini :

± Demam tinggi ( hiperpireksia )

± Kesadarn yang sangat atau terus menurun ( sopor, koma atau delirium )

± Terdapat komplikasi yang berat seperti dehidrasi, asidosis dan perforasi

I. ASUHAN KEPERAWATAN DEMAM TIFOID

1. Pengkajian

a. Identitas pasien

Meliputi data-data umum / demografi

b. Keluhan utama

Demam tinggi sekitar 3 minggu, mual, muntah, tidak nafsu makan, nyeri kepala.

c. Riwayat penyakit sekarang

Tanyakan kepada keluarga sejak kapan klien mulai demam dan merasakan keluhan-keluhan seperti diatas, tindakan apa yang sudah dilakukan keluarga untuk menanggulanginya.

d. Riwayat penyakit keluarga

Tanyakan apakah ada keluarga yang menderita penyakit seperti ini.

e. Riwayat penyakit dahulu

Tanyakan tentang riwayat penyakit infeksi terdahulu, apakah klien pernahmenderita penyakit ini sebelumnya.

f. Riwayat psikososial

Tanyakan tentang kebiasaan klien dan keluarga sehari-hari baik tentang kebersihan diri ataupun lingkungan, kebiasaan makan, tingkat pengetahuan keluarga tentang kesehatan.

2. Pemeriksaan fisik

a. Inspeksi

Tingkat kesadaran, keadaan umum seperti berkeringat banyak, demam, mual muntah, lidaaaah kotor, gangguan eliminasi ( diare / obstipasi ).

b. Palpasi

Untuk mengetahui peningkatan suhu tubuh, turgor kulit dan meraba apakah ada pembesaran hati dan limpa.

c. Perkusi

Untuk mendengarkan peristaltik usus pada abdomen.

d. Auskultasi

Untuk mengetahui adanya bunyi timpani apabila terdapat kembung ( distensi ) pada abdomen.

3. Studi diagnostik

Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan :

Ä Biakan darah positif terhadap kuman salmonella.

Ä Pada widal test didapatkan peningkatan titer aglutinin O dan H sejak minggu kedua dan tetap positif selama beberapa bulan atau beberapa tahun. Titer reaksi wadal diatas 1/200 menyokong diagnosis.

Ä Pada pemeriksaan hematologi didapatkan anemi ringan, LED meningkat, SGOT dan SGPT serta alakali pospatase meningkat.

Ä Pemeriksaan feces dan urine ditemukan adanya salmonella, begitu pula pada pemeriksaan sum-sum tulang dan cairan duodenum.

4. Diagnosa keperawatan yang mungkin timbul :

I. Gangguan keseimbangan ( termoregulasi ) suhu tubuh sehubungan dengan proses infeksi kuman salmonella.

Tujuan :

Suhu tubuh kembali normal antar 36 o C - 37 o C dalam waktu 1 x 24 jam setelah intervensi.

Intervensi :

a. Kaji ulang tanda vital dan keadaan umum klien.

Rasionalisasi : tanda vital menunjukkan proses penyakit infeksi dan dapat mendiagnosa.

b. Berikan pendidikan kesehatan sederhana pada ibu tentang penyakit klien.

Rasionalisasi : menambah pengetahuan asar tentang kondisi penyakitnya.

c. Ajarkan cara menurunkan suhu tubuh yang sederhana :

Ä Kompres dingin pada daerah dahi, ketiak dan dada bila panas.

Ä Beri minum yang banyak.

Ä Memakai pakaian yang tipis dan menyerap keringat.

Ä Sirkulasi udara dan kesejukan ruangan yang cukup.

Rasionalisasi :

Meningkatkan partisipasi ibu dalam melaksanakan tindakan keperawatan.

- terjadi proses konduksi panas tubuh dan memberikanrasa nyaman.

- Membawa panas tubuh melalui IWL.

- Memudahkan proses penguapan

d. Ganti pakaian dan alat tenun bila basah.

Rasionalisasi : membuat klien lebih nyaman.

Evaluasi :

a. Suhu tubuh dalam batas normal antar 36 o C – 37 o C.

b. Ibu memahami tentang penyakit klien.

c. Ibu mengetahui dan mempraktekkan cara menurunkan suhu tubuh secara sederhana.

II. Nutrisi kurang dari kebutuhan sehubungan dengan penurunan keinginan untuk makan.

Tujuan :

Kebutuhan nutrisi klien terpenuhi, keadaan umum membaik dan tidak terjadi penurunan berat badan.

Intervensi :

a. Kaji ulang kebutuhan nutrisi klien.

Rasionalisasi : mengetahui seberapa besar kebutuhan nutrisi dalam tingkatan umur dan usia.

b. Berikan pendidikan sederhana tentang pentingnya pemenuhan nutrisi untuk mempercepat penyembuhan.

Rasionalisasi : menambah pengetahuan agar ibu mau bekerja sama dalam pemenuhan nutrisi.

c. Anjurkan kepada ibu untuk memberi makan dalam porsi kecil tapi sering.

Rasionalisasi : dilatasi lambung dapat terjadi bila pemberian makanan terlalu cepat.

d. Sediakan makanan dalam bentuk hangat, makan tidak terburu-buru, makan ditemani oleh ibu dan suasana lingkungan yang menyenangkan.

Rasionalisasi : membuat makanan nyaman dimakan

e. Motivasi dan bantu klien dalam pemenuhan nutrisi.

Rasionalisasi : memberikan dorongan dengan klien mau makan.

f. Kolaborasi pemberian terapi infus dan vitamin penmbah nafsu makan.

Rasionalisasi : tambahan nutrisi selain melalui oral.

Evaluasi :

Kebutuhan nutrisi terpenuhi secara adekuat :

Ä Keadaan umum membaik.

Ä Tidak terjadi penurunan berat badan

III. Intoleran aktivitas sehubungan dengan kelemahan fisik dan bed rest total.

Tujuan :

Setelah diintervensi kebutuhan ADL klien bisa terpenuhi tanpa mengganggu program terapi bed rest.

Intervensi :

a. Kaji tingkat kebutuhan pemenuhan ADL klien.

Rasionalisasi : mengetahui tingkat kebutuhan ADL klien.

b. Berikan pendidikan sederhana tentang program terapi bed rest.

Rasionalisasi : memberi pengetahuan kepada keluarga dalam pemenuhan kebutuhan aktivitas ADL.

c. Anjurkan dan motivasi keluarga dalam pemenuhan kebutuhan aktivitas ADL klien.

Rasionalisasi : mengikutsertakan keluarga dalam pemenuhankebuuhan aktivitas ADL klien.

Evaluasi :

Kebutuhan ADL klien terpenuhi tanpa mengganggu terapi bed rest

Daftar pustaka:

Ngastiyah,1997,--Perawatan Anak Sakit,-- Jakarta : EGC.

Rahmat Juwono, 1999,--Buku ajar Ilmu Penyakit Dalam,--Jakarta : Gaya baru.

Doenges, Marylinn. E, 1999, -- Rencana Keperawatan; Pedoman untuk Perencanaan dan pendokomuntasan Perawatan Pasien,--ed.3 , Jakarta :EGC.




HIPERTIROID

1. Definisi.

Hipertiroid dikenal juga sebagai Tirotoksikosis, Hipertiroidisme dapat didefinisikan sebagai respon jaringan-jaringan tubuh terhadap pengaruh metabolik hormon tiroid yang berlebihan. Keadaan ini dapat timbul spontan atau akibat asupan hormon tiroid secara berlebihan.

2. Patofisiologi.

Beberapa penderita penyakit psikiatris mungkin mendapat tiroksin atau triyodotironin dalam dosis besar sehingga mengakibatkan tirotoksikosis.

Terdapat 2 tipe hipertiroidisme spontan:

1) Penyakit graves.

2) Goiter modular toksik.

Penyakit graves biasanya terjadi pada usia sekitar 30 – 40 th, dan telah sering ditemukan kebanyakan lebih banyak wanita dari pada pria. Terdapat predisposisi familiat terhadap penyakit ini dan sering berkaitan dengan bentuk-bentuk endokrinopati auto imun lainnya. Pada penyakit graves terdapat 2 kelompok gambaran utama, tiroidal dan ekstra tiroidal dan keduanya mungkin tidak nampak. Ciri-ciri tiroidal berupa goiter akibat hiperplasia kelenjar tiroid dan hipertiroidisme akibat sekresi hormon tiroid yang berlebihan. Gejala-gejala hipertiroidisme berupa manifestasi hipermetabolisme dan aktifitas simpatis yang berlebihan.

3. Tanda dan Gejala.

Gejala-gejala hipertiroid tergantung pada peningkatan taraf metabolik yang dirangsang oleh hipersekresi kelenjar. Gejala-gejala klasik ialah nervositos tidak tahan panas, tremor dan penurunan BB, pada pemeriksaan fisik terdapat takikardi dan hipertensi dan kemungkinan pula ditemukan fibriasi atrium serta kardiomegali, pada hpertiroid primer mungkin terdapat eksota imus. Kelemahan otot pada luar okeu odema kelopak mata atas px mungkin menunjukan ledakan emosional dan gangguan psikis berat.

4. Pemeriksaan Penunjang.

Diagnosis laboratorium dari hiper dan hipotiroid dapat dilakukan dengan mengukur kadar T3 dan T4 dalam serum. Ambilan ( uptake ) iodium radio aktif juga merupakan tes tiroid berguna, tes-tes ini telah menggantikan pemeriksaan yodium pengikat protein dan tingkat metabolik basal ( BMR ), FTI atau indeks tiroksin bebas ( Free Thyroxine Index ) yang diperoleh dari rasio T3 dan T4 total dalam serum, umumnya merupakan tes yang untuk penapisan ( screening ) LATS ( Long Acting Thyroid Substance = Substansi Tiroid Berefek Lama ). TSH dan TRH dapat diukur dengan rasio imunolisai. Anti bodi khusus terhadap tiroglobulin yang tampak pada kelainan imun kelenjar tiroid dapat pula dipakai untuk membantu dalam mendiagnosis berbagai bentuk tiroiditis.

5. Diagnosa Keperawatan.

1) Penurunan curah jantung S.D penurunan waktu pengisian diastolik sebagai akibat peningkatan frekuensi jantung.

Observasi setiap 4 jam nadi apikal, tekanan darah dan suhu tubuh.

Anjurkan pada klien agar segera melaporkan pada perawat bila mengalami nyeri dada

Upayakan lingkungan klien agar dapat beristirahat.

Batasi aktifitas yang melelahkan.

Kolaborasi pemberian obat anti tiroid seperti thionamid, methimazole.

2) Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh S.D efek hiperkatabolisme.

Berikan makanan tinggi kalori tinggi protein.

Beri makanan tambahan diantara waktu makan.

Timbang BB secara teratur setiap 2 hari sekali.

3) Gangguan persepsi sensoris ( penglihatan ) S.D gangguan transmisi infus sensorik sebagai akibat optalmotik.

Anjurkan pada px tidur dengan elevasi kepala.

Basahi mata dengan borwater steril.

Jika ada photopobia anjurkan klien menggunakan kaca mata rayben.

Jika klien tidak dapat menutup mata rapat pada saat tidur gunakan plester non alergi.

Berikan obat-obat steroid sesuai program.

6. Daftar Pustaka.

Ballenger, John Jacob. 1994. Penyakit Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala dan Leher, Jilid 1 Edisi 13.Jakarta; Binarupa Aksara.

Price, Sylvia A & Wilson Lorraine M. 1995. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit, Edisi 4. Jakarta; Buku Kedokteran EGC.



LAPORAN PENDAHULUAN

GASTRITIS

1. Pengertian

Gastritis bersal dari dua kata yaitu gaster yang berarti lambung, dan it is berarti peradangan atau pembengkakan. Gastritis adalah suatu inflamasi yang terjadi didaerah mukosa lambung yang disebabkan oleh kuman-kuman, diman bisa terjadi secara akut dan kronis.

Secara klinis gastritis terbagi atas :

a. Gastritis akut

Inflamasi akut dari dinding lambung yang biasannya terbatas pada bagian mukosa saja. Terjaddi atas gastritis atas, gastritis ekssogen da n endogen akut.

b. Gastritis kronis

Inflamasi kronis pada dinding lambung yang bisa bagia n mukosa saja atas ssudah penetrasi kelapisan sub mukosa lambung yang kaya akan pembuluh darah. Gastritis kronis terjadi kare na gastritis akut yang tidak tertangani.

2. Etiologi

Makanan minuman yang dapat mersak mukosa lambung, banyak mengkumsumsi alkohol, penggunaan obat-obatan seperti yudium, kafein. Infeksi bakjteri terutama sreptococcus, stapylococcus, serta bahan kimia dan minuman yanag bersifat korosif seperti asam pekat dan soda kausatif. Makanan dan minuman yang terlalu asam, pedas, panas, berle mak juga dapat menyebabkan gastritis. Terlalu banyak berpikir atau stres dapat meningkatkan asam lambung.

3. Patofisiologi

Pada gaster yang terjadi peradangan pada lapisan mokusa terjadi kemeraha , edema dan meradang, biasanya peradangan ini terbatas pada mukosanya saja. Apabilaa sering mengkonsumsi bahan-bahan yang bersifat iritasi, maka dapat menyebabkan perdarahan mukosa lambung juga dapat menimbulkan kerak yang disertai reaksi inflamasi. Jika hal ini terus berlanjut, maka akn terjadi peningkatan sekresi asam lambung serta dapat meningkatkan jumlah asam lambung.Keadaan demikian dapat menyebabkan iritasi yang lebih parah pada mukosa lambung akibat hiper sekresi dari asam lambung.

4. Manifestasi Klinik

a. Gastritis akut

Rasa nyeri pada epigastrium yang mungkin ditambah mual. Nyeri dapat timbul kembali bila perut kosong. Saat nyeri penderita berkeringat, gelisah, sakit perut dan mungkin disertai peningkatan suhu tubuh, tachicardi, sianosis, persaan seperti terbakar pada epigastrium, kejng-kejng dan lemah.

b. gastritis kronis

tanda dan gejala hanpir sam dengan gastrritis akut, hanya disertai dengan penurunan berat badan, nyeri dada, enemia nyeri, seperti ulkus peptikum dan dapat terjdi aklohidrasi, kadar gastrium serum tinggi.

5. Pemeriksaan Penunjang

1. Foto lambung

2. Foto Rontgen

3. Gastrokopi

4. Endoskopi

5. Biopsi Mukosa

6. Analisa lambung

7. Penatalaksanaan Medis

Selama masa akut; istirahat 1 – 2 hari

Mengatur diet; lembek dan tidak pedas

Mengganti cairan tubuh melalui intravena

Beri antimetik; psimpesan

Beri analgetik dan anti inflamasi

Terapi infus; D5 %

8. Diagnosa dab Intervensi Keperawatan

a. gangguan rasa nyaman: nyeri s.d peradangan pada gaster

Ø kaji status nyeri : Skala, intensitas, frekuensi, durasi nyeri

Ø Kaji penyebab nyeri : area nyeri

Ø Anjurkan Px menari napas dalam dan menggunakan tekhnik relaksasi lain

Ø Anjurkan Px untuk tidak mrngkunsumsi makana pedas dan mengandung gas serta minuman yang sifatnya oversidosis

Ø Beri analgetik SOD

Ø Beri Asetaminofen karena ada efek tidur

Ø Beri antasit

Ø Beri anticholirgik

b. gangguan pemenuhan nutrisi s.d Anorexia d.d mual dan muntah

Ø Observasi karakteristik muntahan

Ø Berikan makan cair dalam jumlah kecil dan cukup kering

Ø Anjurkan Px makan sedikit demi sedikit namun sering

Ø Pertahankan puasa selama masa akut kurang lebih beberapa jam

Ø Kolaborasi dengan Dokter untuk pemberian antiemetik

c. Gangguan regulasi suhu s.d Proses peradangan lambung

Ø Berikan kompres dingin pada prontal dan axila

Ø Observasi TTV

Ø Anjurkan minum yang banyak

Ø Berikan pakaian yang tipis

d. Kurang pengetahuan tentang proses penyakitnya

Ø Kaji tingkat pengetahuan tentang proses penyakitnya

Ø Observasi tingkat kecemasan Px

Ø Berikan kesempatan Px untuk bertanya

8. Daftar Pustaka

Doengos, M.E,dkk,1999”Rencana Asuhan KeperawatanPedoman Untuk Perencanaan dan Pedokomentasian Perawatan Pasien”.Edisi III, Jakarta : EGC

Mansjoer,A,dkk,1999 “Kapita Selekta Kedokteran” Jilid I Edisi III, Jakarta : Media Aeskulapius FKUI